Ekonomi-Politik Reformasi yang Berakhir
Politik komando ini disertai meningkatnya upaya mengurangi kebebasan pers, otonomi kampus, dan kritik masyarakat. Para pengkritik sering dituduh sebagai antek asing.
Berbagai penerbitan pers Indonesia, termasuk Kompas, memuat sejumlah artikel yang mempertanyakan, bahkan meratapi, nasib reformasi. Tulisan-tulisan itu memunculkan pertanyaan: bagaimana kalau reformasi ternyata sudah berakhir? Jika demikian, bagaimanakah masa depan Indonesia pascareformasi?
Untuk menjawabnya kita perlu memahami terlebih dulu sifat dasar reformasi itu sendiri.
Dalam buku Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (2004), saya dan Richard Robison berargumen, sebuah oligarki yang berkembang di masa Orde Baru telah membajak demokrasi Indonesia yang baru tumbuh sehingga menjadi kekuatan dominan pada masa reformasi. Oligarki itu kami gambarkan sebagai suatu relasi kekuasaan yang melibatkan aliansi kekuatan politik-birokrasi dan bisnis besar.
Kekuatan oligarkis secara cepat menyesuaikan diri dengan perubahan yang dibawakan reformasi, antara lain dengan menguasai partai politik besar, mekanisme pemilu, sambil menggandeng organisasi kemasyarakatan baru ataupun lama. Perkiraan kami, kompetisi elektoral hanya akan berkisar pada masalah faksi oligarki mana yang mengendalikan akses pada institusi publik dan sumber dayanya.
Analisis kami menekankan perlunya kritis terhadap pencapaian reformasi. Sebab, jika oligarki telah menarik manfaat dari sistem otoritarian Orde Baru, terutama lewat perilaku KKN, maka di masa reformasi hal serupa bisa merebak lewat dominasinya di politik elektoral.
Namu, kekuasaan memang harus dipraktikkan secara lebih terdesentralisasi, sehingga melahirkan persaingan antarfaksi oligarki karena tak adanya penguasa puncak dan tunggal, seperti Soeharto. Reformasi juga menyediakan jalur baru bagi perluasan kekuasaan oligarki hingga ke tingkat lokal, melalui aliansi yang melibatkan beragam kepentingan lokal, seiring desentralisasi administratif.
Banyak di antaranya bahkan mengembangkan kuasa oligarki setempat sendiri. Namun, pusat-pusat kekuasan alternatif, apalagi yang progresif, tak pernah muncul di masa reformasi guna menandingi dominasi oligarki.
Apalagi civil society masih terorganisasi secara fragmentaris. Tak heran demokrasi Indonesia cenderung bersifat ekslusioner, dalam arti kepentingan segmen masyarakat paling terpinggir, kaum minoritas, bahkan perempuan, kurang terwakili.
Ekonomi-politik komando
Kalau begitu ceritanya, bagaimanakah kondisi Indonesia pascareformasi? Menurut kami, evolusi proses reformasi sendiri telah membuka pintu untuk resentralisasi kekuasaan ekonomi politik setelah justru menancapkan dominasi oligarki.
Masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo sempat membangkitkan harapan datangnya tantangan terhadap oligarki karena ia dipandang sebagai tokoh dari luar. Namun, ia membantu memastikan keberlanjutan dominasi oligarki dengan dipretelinya institusi, seperti KPK dan MK, pemberlakuan Omnibus Law, dan aplikasi UU ITE.
Tindakannya layak dianggap melindungi kepentingan oligarki, mengancam lingkungan hidup dan hak pekerja. Pada dasarnya, ia melapangkan jalan resentralisisasi kekuasaan ekonomi politik yang terakselerasi di bawah Presiden Prabowo.
Namun, tak semua bisa serta-merta berubah. Artefak reformasi seperti pemilu (yang hasilnya tak ditentukan dari awal) dan parpol yang saling bersaing menguasai sumber daya publik kemungkinan sulit untuk dihilangkan. Sebab, sudah terlalu banyak kepentingan yang tertanam di institusi-institusi terkait setelah seperempat abad.
Meski demikian, ekonomi politik Indonesia sepertinya akan berjalan menurut suatu kerangka ’komando’ yang lebih terpusat daripada sejak awal reformasi. Intinya, adalah upaya lebih ’mendisiplinkan’ kompetisi antarfaksi oligarki yang kadang kala kurang tertib, setidaknya menurut naluri dan kepentingan politik yang kini berlaku.
Beberapa indikatornya adalah: kebijakan ekonomi yang memusatkan wewenang pada pemerintah pusat, seperti proyek-proyek strategis nasional yang kadang kala tak jelas muatan strategisnya. Kita memahami bahwa program Makan Bergizi Gratis, food estate, dan terakhir Koperasi Merah Putih, berjalan lewat sistem otoritas dan sumber daya terpusat.
Di samping itu, Danantara, yang menggabungkan seluruh aset BUMN dalam suatu superholding terlihat dikuasai sejumlah tokoh yang punya kaki baik di dunia politik-birokrasi maupun bisnis. Sementara program hilirisasi tampak menguntungkan konglomerat petambang yang menikmati dukungan BUMN dan investor asing yang dimobilisasi negara, tetapi merugikan komunitas lokal.
Persoalannya, pelemahan KPK yang sudah berjalan sejak masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, serta inkoherensi civil society yang berlanjut, menambah kecemasan bahwa perilaku ekonomi KKN kini mendapatkan peluang baru.
Suatu kerangka politik yang semakin berbentuk ’komando’ sedang berkembang pula—bahkan yang termiliterisasi dengan masuknya kembali aparat militer di berbagai ranah sipil: dari mengelola BUMN dan badan negara lainnya sampai aktivitas masyarakat tingkat paling lokal.
Politik komando ini disertai meningkatnya upaya mengurangi kebebasan pers, otonomi kampus, dan kritik masyarakat. Bahkan, para pengkritik sering dituduh sebagai antek asing. Alasan ketidaksesuaian dengan ’budaya Indonesia’ juga kerap dirujuk untuk membenarkan gagasan penggantian sistem pilkada dan bahkan pilpres.
Indonesia pascareformasi
Namun, resentralisasi ekonomi politik berpotensi memunculkan ketegangan dan kontradiksi baru. Antara lain, proses ini akan memengaruhi mereka yang selama ini diuntungkan oligarki yang terdesentralisasi, yakni aliansi predatoris yang melibatkan kepentingan lokal.
Akan ada beberapa tingkatan makelar partai, pelobi, dan pebisnis di berbagai daerah, yang kapasitasnya untuk melakukan akumulasi kekayaan secara relatif otonom akan berkurang.
Meski koalisi yang mendukung Presiden memiliki jumlah kursi cukup di DPR untuk memaksakan perubahan drastis, seperti penghapusan pilkada langsung, misalnya, mereka bisa menghadapi gejolak di partai-partai mereka sendiri serta jejaring patronase tingkat lokal. Apalagi jejaring itu diperlukan untuk mobilisasi masyarakat pada masa pemilihan umum.
Kedua, pembatasan lebih lanjut dalam berbagai hak sipil akan dirasakan konsekuensinya, terutama oleh kelompok warga yang rentan. Kita sudah melihat meningkatnya bentrokan antara komunitas lokal dan aparat keamanan dalam pelaksanaan berbagai proyek yang melibatkan perampasan lahan, misalnya.
Terakhir, kapitalisme negara yang dibingkai nasionalisme ekonomi—demi terbentuknya pola bekerja oligarki lebih terpusat—akan bentrok dengan pragmatisme menurut ortodoksi ekonomi yang selama ini melandasi pengelolaan APBN.
Hal ini berpotensi melahirkan persoalan ekonomi baru, apalagi dalam konteks internasional penuh kontradiksi tersendiri, serta memicu konflik antar-faksi oligarki yang padahal ingin dibatasi.
Masa depan Indonesia pascareformasi kemungkinan ditentukan oleh penanganan kontradiksi di atas. Hal ini perlu diperhitungkan oleh bagian civil society yang ingin melanjutkan cita-cita reformasi dalam keadaan yang semakin sulit.
Vedi R Hadiz, Professor of Asian Studies dan Redmond Barry Distinguished Professor, Asia Institute, University of Melbourne, Australia.
Sumber : https://www.kompas.id/artikel/ekonomi-politik-reformasi-yang-berakhir?utm_source=chatgpt.com